GERBONG 02 - Yuk Hijrah
![]() |
Gerbong Kereta Api |
Setiap
orang menikmati udara pagi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang sengaja
menyambutnya dengan secangkir teh, senyuman, kegelisahan, dan sebuah
pengharapan. Begitu pula denganku yang menyambut pagi melalui tulisan rindu
untuk seseorang yang sebenarnya belum aku ketahui siapa dan di mana. Tapi entah
mengapa, aku begitu meyakini bahwa sosok itu ada dan akan menjemputku kelak
dengan cara yang indah nan suci.
MasyaAllah... sungguh
indah panorama ciptaan-Nya ini. Subuh ini menjadi sebuah ketenangan yang hadir
disaat aku bermuhasabah diri di tempat yang sesunyi ini. Waktu terus berlalu,
mengukir kisah yang tidak aku inginkan. Setiap hari harus ku lihat suasana yang
bertentangan dengan nurani. Dan sikap halus yang bukan malah meluluhkan, tapi
semakin mengeraskan hatiku dan semakin membuatku takut bahwa yang mendekat tak
jauh berbeda dengan wajah-wajah malaikat berhati iblis.
Ketakutan
itu begitu dalam merasuk di jiwa, hingga aku semakin sering menjauh dari
keramaian dan memilih menyendiri menikmati angin yang berhembus lewat jendela
kamar atau tempat-tempat hening seperti ini. Aku lebih suka berbicara pada
tinta dan kertas. Melukiskan hari yang dilalui. Begitulah aku berserah pada
waktu, menghindari rasa sakit yang setiap saat bisa saja melukai hatiku.
“Bagaimana kamu di sana? Apakah
hari-harimu menyenangkan? Atau mungkin sama halnya dengan aku? Tolong sekali
saja kau jawab laporan harianku padamu. Karena sekarang aku sedang merasa lelah
menunggu. Aku merasa sakit karena setiap kali menulis untukmu, mengabarimu, dan
menceritakan semua isi hatiku, kamu tidak pernah hadir untuk menjawabnya. Harus
berapa lama lagi aku menunggumu? Harus berapa lama lagi aku menghabiskan hari
tanpa jawaban darimu. Tidak bisakah di sana di tempat yang tidak aku ketahui
dimana, kamu meminta pada-Nya dengan teramat sangat untuk segera dipertemukan
dengan ku? Tidak bisakah kamu berusaha mencariku, menemukanku dan segera
menjabat tanganku? Kekasihku yang tidak aku ketahui siapa, maaf, karena hari-hari
yang begitu melelahkan aku bersikap seperti ini padamu.”Coretanku
di atas kertas putih yang tak berdaya.
Selalu ku
berharap akan kehadirannya dan aku pun hanya bisa menitipkan riduku pada Allah
Yang Maha Tahu isi hatiku untuk dia,
calon imam yang entah siapa dan di mana. Aku meyakini bahwa rasa rindu itu akan
Dia sampaikan tepat ke hatinya. Aku pun selalu berdoa agar senantiasa sosok
calon imamku kelak selalu berada dalam dibimbing-Nya untuk menjadi ikhwan yang
kelak akan membawaku ke syurga-Nya. Dan aku selalu setia pada sosok rahasia itu
hingga tak pernah sekalipun aku menyebut nama yang belum tentu itu adalah
dirinya. Semoga di sana dia pun melakukan hal yang sama denganku.
Hal konyol ini sering
kali membuatku dianggap gila oleh teman dan sahabatku. Mungkin tingkahku ini
berlebihan, namun inilah aku gadis sederhana dengan keteguhan hati yang tetap
menjaga kehormatan diri demi lelaki yang kelak menjadi imamku dimasa depan.
Tak jarang bisikan
teman dan sahabat yang menyuruhku untuk pacaran, namun aku tetap pada
pendirianku dan meyakini bahwa saat itu akan tiba, ketika sosok lelaki dengan
ketulusannya mendatangi waliku. Dengan gilanya aku yang tidak pernah melewatkan
satu hari pun untuk menulis, mengabari kekasih yang masih menjadi rahasia.
Sampai pada suatu hari aku terpaksa tidak menulis lantaran harus bergegas
menuju kota Santri, karena urusan pekerjaan. Dengan menggunakan kereta aku pun
bergegas menuju kota itu, walaupun sebenarnya aku sangat takut naik kereta,
tapi apalah daya aku harus melakukannya demi sebuah pekerjaan.
***
Sepanjang perjalanan
mataku tidak bisa terlelap, bahkan yang ada hanyalah ketakutan hingga keringat
dingin dan jantung pun berdebar-debar manakala kereta itu mengeluarkan suaranya
yang khas.
“Tuuuttt... Gujeg...
Gujeg...!!!”
Dalam kondisi ku yang
ketakutan di gerbong 02, ternyata ada seseorang yang tengah memperhatikanku.
Lelaki berjenggot tipis dengan almamater salah satu universitas di kota santri.
Lelaki itu kemudian mendekatiku.
“Neng nggak apa-apa?”
Tanya lelaki itu heran.
“Nggak kang.” Jawabku
sembari menggenggam erat tas kecil dan berusaha menahan ketakutan yang mendalam.
“Kalau neng mau muntah,
ini sini aja. Jangan malu-malu.” Sembari memberikan kantong kresek berwarna
hitam.
“Bukan kang, bukan.
Saya cuman takut naik kereta dan ini memang pertama kalinya. Benar-benar
takut.” Aku masih saja merasa gemetar.
“MasyaAllah... coba
minum dulu neng trus bayangkan saja kalau perjalanan di kereta ini adalah salah
satu alternatif kita bertemu jodoh. Jika nanti kereta ini berhenti maka di
situlah jodoh kita menanti. Bayangkan saja kebahagiaan kita ketika ketemu jodoh
akan seperti apa. Ganti pikiran tentang seramnya kereta dengan bertemu jodoh
aja neng. Hihihi....” jelas lelaki itu yang entah apa maksudnya mendekatiku.
Aku pun mengikuti saran
lelaki itu. Konyol memang, tapi kata-katanya cukup membuatku cengengesan. Dan ternyata
masih ada orang yang jauh lebih baperan dibandingkan aku.
“Apakah dia calon
imamku? Apakah seperti ini calon imamku?” gumamku dalam hati dengan lugunya.
Ketakutanku pun
perlahan sirna. Semua itu berkat kata-kata lelaki itu yang tanpa memperkenalkan
diri, namun terus bercerita kesana kemari. Hingga sesekali ucapannya membuatku
tertawa. Perjalanan panjang itupun berakhir tanpa terasa. Di statsiun aku dan
lelaki berjenggot tipis itupun saling berpamitan.
“Eh,
neng maaf kita kan belum kenalan. Nama ana Willy.”
“Saya
Alhaya Izatunnisa. Panggil saja...,” Kata-katanya terhenti karena ada seseorang
yang memanggil.
“Bi...
Abi!” Seorang perempuan memanggil-manggil ke arahku.
“Itu
istri saya, mari saya kenalkan.” Kata Willy.
Rupanya
lelaki yang membuatku merasa nyaman sepanjang perjalanan sudah memiliki istri.
Wanita yang bukan hanya cantik rupanya namun juga baik hatinya. Setelah berkenalan
mereka pun mengajakku untuk mampir ke rumah mereka.
***
Baca Juga :
Indahnya Takdir Allah
Hukum wanita berdandan dalam islam Yuk Hijrah
Kota
santri, akhirnya aku pun bisa menginjakkan kaki di tanah yang kelak akan
merubah jalan hidupku agar lebih terarah, meski tragedi di kereta tadi
membuatku tercekat dan malu sendiri dengan diriku yang telah menerka-nerka dan
berharap dia calon imamku.
“Haduuuh...
Nisa jangan konyol, ini saatnya kamu menyusun masa depan. Sudah saatnya fokus
pada pekerjaan dan lupain tragedi di kereta tadi.” Gerutuku sambil menyesali
kekonyolan itu.
THE END