Ketika Dan Jatuh Cinta Part 2

Waduk Darma 
“Aduuuh, Dan novel kakak gue bisa busuk kalau udah dua bulan, dua puluh dua hari, dua jam lu masih baca di halaman 20. Kak Andi udah nagih novelnya ke gue. Lagian lu gak biasanya baca novel segini lamanya,” Emir mengawali pertemuannya dengan Dan. Ia memperlihatkan novel yang tergeletak tepat di atas meja Dan yang pembatas bukunya nongkrong di halaman 20.

“Novelnya udah gue baca kok, cuma pembatasnya gak sengaja gue simpen di halaman 20. Niatnya pas shalat Dhuha nanti gue kasih. Alhamdulillah pagi ini lu mau berkorban naik tangga, nyamper ke kelas gue. Bilangin makasih ya sama Kak Andi,” Dan menjawab omelan Emir dengan tenang.

Jam hampir menunjukan ke angka 8. Emir kembali ke kelasnya terburu-buru, takut dirinya telat dan dapet wejangan super dari Pak Ajip, dosen Fisikanya. Namun ada sesuatu yang menggelitik hatinya, mengapa wajah Dan begitu tenang? Senyumnya pagi ini tak seperti biasanya.
Lagi-lagi Emir melihat Dan dengan pose yang sama, cuma bedanya kalau kemarin lusa dia berpose dengan tangan memeluk lutut sebelum azan dzuhur tiba, hari ini posenya dilakukan setelah shalat Dhuha selesai. Benar-benar pose yang gak bakal menarik potografer manapun buat ngejadiin dia model di kalender tahunan.

“Sob, gue punya list novel best seller yang bisa bikin pembacanya terinspirasi banget karena pesan penulisnya. Nih, gue bawa khusus buat lu,” Emir mengambil satu lembar kertas yang udah dilipat dari saku celananya.”

“Nggak perlu repot-repot. Lagian novel di rumah gue udah hampir satu lemari,” Dan menjawab dengan santai.

“Gue heran deh sama lu. Kemarin lu baca novel segitu lamanya, sekarang gue ngasih list novel best seller terbaru, lu kayak gak ada hasrat sama sekali buat ngeliatnya bahkan ngelirik kertasnya juga belum. Mana jiwa kutu novel yang selama ini lu pegang teguh sebagai generasi penerus novelis?” Emir berapi-api seperti orator ulung.

“Gue masih punya mimpi jadi novelis kok. Walaupun gue baru bisa bikin cerpen yang paling juga nongkrong di OA ISC atau di tumblr butut gue juga di mading kampus. Soal kenapa gue baca novelnya lama karena setiap kali gue bersama dia, gue sadar selama ini gue bisa nangis, ketawa-ketawa sendiri, terharu dan ngerasa dapet berbagai   motivasi dan inspirasi sama novel-novel yang gue baca sama sekali gak ada artinya kalau gue gak kenal dan mencintai dia.

Padahal dia lebih menginspirasi, lebih membuat gue terpesona, membuat setiap kali tarikan napas hidup gue ini bermakna dan gue baru merasakan kenyamanan ini hanya bersamanya.Gue bener-bener ...” Belum selesai Dan bicara, Emir memotongnya, “STOP, Dan! Gaya bahasa lu udah gak beres, bikin telinga gue panas. Sekarang lu jujur sama gue, lu udah gak punya hasrat sama novel karena lu udah punya gebetan yang sering lu kecengin, terus banyak waktu lu habisin sama kecengan lu.” Dan menatap Emir dengan senyumnya, “Tepat sekali, sobat.”

“Gue nggak salah denger, kan?” nada bicara Emir naik satu oktaf. “Ya nggaklah,” Dan menjawab mantap.

“Dan...” Kini nada bicara Emir turun. “Lu udah lupa sama janji kita?” Emir kini pasang mimik serius. “Janji yang mana ya?” Dan malah pasang wajah innocent-nya.

“Jadi, lu lupa sama janji kita di bawah tangga masjid Al-Ghifari ini? Lu lupa kalau kita pernah buat janji di atas kertas?” kini nada bicaranyanya naik dua oktaf. “Tanpa lu tanya pun, gue gak akan lupa sama janji itu,” Dan menjawab sambil membenarkan kaca mata minus empatnya yang sedikit melorot.

“Lu bilang gitu, tapi sikap lu berbanding terbalik sama omongan lu,” kini hatinya mulai tersayat. Entah sayatan membujur atau melintang yang membuat hatinya sakit sekali. (eh, sayatan yang ini bukan buat objek di mikroskop)

“Maksud lu?” Dan masih nggak peka.

“Lu lupa, kalau lu pernah bilang ke gue bahkan gak cumake gue tapi ke semua anak mentoring di kelompok kita. Lu bilang, jadi lelaki sejati itu gak perlu caper (red : cari perhatian), gak usah tebar pesona sama perempuan, boleh jatuh cinta tapi harus menjaga hati, gak perlu mengumbarnya apalagi mengungkapkannya bahkan lu selalu mengingatkan buat nyibukin fisik  supaya perasaan suka itu bisa diabaikan sebelum waktu yang Allah tentukan itu datang karena yang perlu jaga diri itu gak cuma perempuan tapi juga laki-laki,” Emir membayangkan kembali suasana ketika Dan bicara satu tahun lalu.

Suasana yang membuat sayatan di hatinya kini semakin tak terhitung, ia meneruskan kata-katanya, “Bahkan lu adalah orang pertama yang berkoar gak setuju saat gue punya rencana buat nembak si Kanza dan saat itu gue terima dan pahami petuah lu kalau pacaran bisa menghambat gue sebagai anggota mentoring yang harus berusaha memberi teladan yang baik untuk sesama,” Emir melanjutkan sambil mengikat sepatunya dengan kencang, sekencang ia mengikat hatinya dengan tali kecewa.

“Mir, gue gak lupa sama omongan gue yang itu. Tapi gak ada hubungannya sama kecengan gue,” Dan masih menjawab dengan tenang.

“Udah, Dan. Cukup sampai di sini. Yang lalu cuma senjata makan tuan.” Emir pergi membawa segenap rasa bernama tak menyangka.

Bersambung...

Baca Juga
Ketika Dan Jatuh Cinta Part 1