Bagian 1 Novel Puzzle
"Ayah"
Karya Windi SJ
Wahai pelita
bagaimana aku memahami rasa cintamu?
Garis-garis putih bagai pelangi di mata Ziya, sepanjang hari dan hari-hari sebelumnya, kota Santri yang damai selalu ditemani panas mentari dan hembusan angin penyejuknya. Tanaman padi dan bunga-bunga liar di sepanjang jalan, nampak layu serta kering. Ujung kerudung pun akan beralih fungsi menjadi cadar tat kala beraktivitas di luar rumah. Namun, masih ada ujung kerudung yang tetap menjuntai, sempurna menutupi aurat sebagaimana titah Tuhannya.
Dalam suasana siang yang panas, Ziya menyandarkan kepala pada sosok ibu yang sedang asyik membaca Qur’an di teras rumah.
“Bu, besok Ziya akan pergi. Doakan Ziya supaya di sana bisa betah dan semakin istiqomah di jalan Allah.” Ucap Ziya.
“Iya Zi, ibu do’akan semoga Ziya selamat di perjalanan, betah di sana, dan semoga selalu dikelilingi orang-orang yang sholeh dan sholehah. Jangan pernah tinggalkan sholat dan jangan pernah berlaku curang. Lakukan apapun sesuai kemampuanmu sendiri dan selalu libatkan Allah disetiap langkah.”
Ziya hanya tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca. Setiap kata yang diucapkan ibunya seolah-olah menyibak lembaran kisah perjuangan hidupnya. Dimana semasa SMA dia selalu menjadi siswi yang jujur dan bahkan ketika guru-guru memberikan bocoran soal, Ziya masih kukuh untuk tidak tergoda. Dia juga jadi teringat bagaimana perjalanannya memperjuangkan cita-cita, berusaha masuk ke universitas besar yang dia inginkan dengan selalu menggandeng nilai-nilai kejujuran. Hingga pada satu titik dia menyerahkan seluruh pengharapan hidup di sepertiga malam. Ziya terus meminta yang terbaik, sampai pada akhirnya Allah menggiring ia ke kampus swasta dengan lebel Islaminya.
Tiba-tiba Ziya meneteskan air mata, menangisi dilema yang berkecambuk dalam hatinya dan seakan begitu berat baginya untuk menjalani kenyataan yang seperti mimpi buruk. Ibunya menatap Ziya dan perlahan menghapus air mata putri tercintanya. Beliau faham betul, bahwa Ziya belum bisa menerima kenyataan bahwa dia harus mengubur cita-citanya.
“Bu, bolehkan Ziya katakan sesuatu tentang Allah?” Ucap Ziya dengan suara berat penuh beban.
“Ya, apa Zi,” Ucap ibunya dengan lembut.
“Ibu tahu kan, Ziya tuh sangat mencintai Allah bahkan nggak pernah sedetikpun Ziya lupa menyebut nama-Nya dalam hati. Ibu juga tahu nggak ada yang lebih Ziya cintai selain dari Dia, hingga ketika Dia katakan bahwa seorang muslim itu harus cerdas, Ziya pun berusaha untuk itu. Ibu juga tahu kan, bagaimana Ziya menghabiskan malam? Bagaimana Ziya berjuang, agar bukan hanya menjadi muslim yang ta’at, tapi juga jadi muslim yang bermanfaat. Lalu mengapa Dia nggak mengabulkan do’a Ziya untuk menjadi seorang dokter? Padahal Ziya telah mewakafkan diri ini, untuk kebaikan ummat jika nanti Ziya telah menjadi seorang dokter. Ziya telah mewakafkan diri ini untuk membela mereka yang saat ini sedang berjuang membela Islam di tanah mereka. Mengapa bu? Mengapa Allah nggak berikan jalan untuk Ziya ke sana? Apa permintaan Ziya begitu hina? Apa Ziya Nggak pantas mewakafkan diri ini untuk bisa membela agama-Nya yang suci? Katakan bu, dimana letak kesalahan Ziya hingga Dia nggak menyukai Ziya? Katakan buuu... tolong katakan dimana letak kesalahan Ziya pada-Nya hingga Dia nggak ridho!” Ziya meluapkan rasa sesal yang seharusnya tidak muncul dari seorang muslimah yang dididik dengan baik dari kecil.
“Istighfar Ziya, istighfar...,” Ibunya mengelus lembut kepala Ziya.
“ Astaghfirullahaladzim...,” Ziya beristighfar dengan suara yang parau.
“Ibu tahu, Ziya anak yang berbakti, pintar dan sholehah. Tapi, itu hanya penilaian ibu sebagai manusia biasa. Ibu tidak tahu bagaimana penilaian Allah terhadapmu. Boleh jadi ketika Ziya berbuat baik dan melakukan peran sebagai seorang hamba, terselip rasa sombong, riya, tidak ikhlas, dan hal-hal lainnya yang Allah tidak suka. Istighfar Zi, jangan pernah menghujat Allah atas semua keputusan-Nya. Karena Dia tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
“Dan orang-orang yang berusaha untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”(Al-Ankabut 69).
“Yakinlah Zi, yakin bahwa skenario Allah adalah yang terbaik. Kamu masih bisa berjuang sebagaimana impianmu dulu. Meski nggak bisa ke Palestina sebagai dokter, kamu masih bisa melakukan yang terbaik melalui pendidikan. Jika hari ini kamu nggak bisa menjadi dokter, maka melalui jurusan yang kamu ambil, InsyaAllah nanti akan lahir ratusan bahkan ribuan dokter. Maka bersabar, bertawakal dan bersyukurlah karena ini yang terbaik dari Allah. Bismillah, lakukan semua dengan sebaik-baiknya penghambaan.” Jelas ibu Ziya.
Ibu Ziya terus meyakinkan dan berusaha mengembalikan semangat putrinya atas apa yang Allah gariskan. Dengan penuh kasih sayang ibu Ziya merangkulnya, sehingga membuat air mata Ziya tak henti menetes dan bibirnya basah dengan lantunan istighfar memohon ampunan atas kekhilafan, hujatan, penyesalan, serta ketidak percayaan bahwa skenario terbaik adalah skenario-Nya.
Sementara itu, diam-diam sosok Ayah yang terkesan acuh, memperhatikan bagaimana istrinya mampu menenangkan dan meyakinkan anaknya akan ke Mahaan Allah. Cinta yang sudah lebih dari 20 tahun terjalin diantara keduanya, menjadi semakin harmonis.
Di balik gorden tipis itu, ayah Ziya mengucapkan syukur pada yang Maha Kuasa karena dikaruniakan seorang istri yang sempurna dan juga bersyukur karena diberikan amanah seperti Ziya. Dua wanita itulah yang menjadikan sosoknya mampu melakukan yang terbaik.
Terik mentari kota Santri, tak terasa panasanya karena sebuah keluarga kecil telah dibasahi cinta sang Maha Kuasa. Siang begitu cepat berlalu berganti dengan kemesraan baru yang berwarna senja, kemudian berubah menjadi gelap dan perlahan mengantarkan pada kemesraan dalam sepertiga malam penuh keagungan. Malam itu adalah malam terakhir sebuah keluarga sederhana bersujud bersama di tempat yang sama pula. Tak lagi tampak kecemasan akan masa depan. Hati Ziya kini mantap untuk melangkah, menapaki jalan yang telah ditetapkan.
Setelah subuh, ibu Ziya disibukan dengan suasana dapur yang harus dihidupkan. Sementara Ziya dan ayahnya mencoba untuk mengemas barang-barang yang akan dibawa ke kota barunya. Suasana kamar pada waktu itu amat hening, yang terdengar hanya suara lemari yang ditutup kemudian dibuka untuk mengambil barang yang diperlukan, serta suara resleting koper yang ditutup.
Ayah Ziya memang seperti tak banyak bicara dan Ziya pun tak tahu harus mengatakan apa agar keheningan itu bisa hilang. Lama berada di ruangan yang sama namun tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut mereka, sehingga membuat Ziya gundah gulana. Ingin sekali dia mengucapkan terima kasih pada sosok ayah di depannya itu, tapi kelu dan malu rupanya telah membelenggu. Dalam suasana batin yang senyap dan sesak, keduanya terus berkemas hingga semuanya telah siap.
“Coba lihat lagi Zi, takutnya masih ada yang belum ayah masukan.” Ucap Ayah.
“Sepertinya sudah semua yah.” Sambil memberikan senyuman.
“Baiklah kalau begitu, yu! sekarang kita makan.”
“Kayaknya Ziya mau mandi dulu, baru setelah itu makan.”
“Jangan mandi, kamu kan nggak biasa bepergian jauh. Nanti kalau mandi, yang ada malah masuk angin. Ingat perjalanan kita nanti cukup jauh,” Ucap ayah Ziya menunjukan perhatian penuh.
Ziya pun akhirnya mengikuti saran Sang Ayah. Suasana di meja makan luar biasa berbeda. Meja hampir penuh dengan berbagai makanan lezat, termasuk makanan kesukaan Sang Ayah, tapi menjadi makanan yang paling tidak disukai oleh Ziya, yaitu udang.
“Buuu...,” Belum sempat kata-kata itu selesai diucapkan oleh suaminya, sang istri sudah menyodorkan piring berisis nasi dengan udang dan sayuran. Beliau memberikan itu disertai dengan senyuman manis.
“Buuu...,” Belum sempat kata-kata itu selesai diucapkan oleh suaminya, sang istri sudah menyodorkan piring berisis nasi dengan udang dan sayuran. Beliau memberikan itu disertai dengan senyuman manis.
“MasyaAllah, selalu saja seperti itu penuh kemesraan. Mungkin inilah yang disebut saling mencintai karena Allah. Dimana ketika keduanya disatukan, mereka saling melakukan peran dengan sebaik- baiknya peran, sesuai dengan tuntutan-Nya. Melakukan segala sesuatu dengan mengharap ridho serta syurga-Nya.” Gumam Ziya dalam hati ketika melihat kemesraan ayah dan ibunya.
Lalu, tanpa ragu Sang Ayah mengucapkan terima kasih yang disertai senyuman tulus ikhlas atas dasar cinta. Pemandangan yang biasa disaksikan Ziya itu akan segera berakhir dalam beberapa jam lagi. Dia menikmati bagaimana detik-detik kemesraan yang terjalin dikeluarga kecil itu.
Sebelum pergi, Ziya memandangi setiap sudut rumah, lalu berhenti dalam waktu yang lama disebuah tempat favoritnya. Tempat itu adalah kamar dengan jendela terbuka lebar. Kamar tempat dimana dia terbiasa merenung dan menuliskan setiap moment yang telah dilaluinya. Tempat dimana dia biasa menghabiskan waktu, menikmati angin malam dan hujan. Perlahan Ziya memejamkan mata dan mengingat semua kisah yang ia lalui di rumah itu. Dia ingat bagaimana keluarga kecilnya selalu menghabiskan hari dengan penuh syukur dalam kesederhanaan dan teringat bagaimana ketulusan cinta kedua orang tuanya. Seolah semua itu menjadikan dia enggan untuk pergi.
Hati yang tenang kembali gundah. Namun dia harus pergi. Terselip kekhawatiran pada orang tuanya. Mungkin mereka akan merasa kesepian karena anak satu-satunya kini harus pergi.
“Zi,” ibunya nemepuk pundak Ziya.
“Ya, bu,.” Sedikit kaget.
“Ayo! cepat Zi, Ayah udah nunggu di depan.”
“Oh ya, bu. Ziya juga udah siap.”
Sebelum Ziya berangkat, ibunya mendo’akan untuk keselamatan Ziya.
“Ziya pamit bu, Assalamu’alaikum.”
“Wa ‘alaikum salam.” Ucap ibunya dengan tetap memberikan senyum terbaik.
Tidak ada air mata yang menetes. Ziya pergi dengan hati yang ikhlas dan ibunya pun melepaskan dengan penuh keikhlasan.
Aku adalah milik Mu
Dia juga milik Mu
Kita bertemu itu karena Mu
Jika harus berpisah,
Ku persembahkan untuk Mu
Untuk menggapai ridho Mu
Tangan yang tak lagi halus kemudian menggenggam Ziya, membawanya pergi meninggalkan sosok bidadari tak bersayap. Sorot matanya begitu meyakinkan, bahwa pergi kemanapun dan sejauh apapun, dia akan tetap ada untuk Ziya. Jika bukan melalui wujud nyata, dia akan ada melalui do’a yang di titipkan pada Sang Maha Esa.
“Ayo! Zi, ini udah terlalu siang.” Ucap Sang Ayah sembari mencoba meraih tangan Ziya.
“Ya, yah.” Seraya tersenyum manis.
Mobil tua yang kusam dan terkesan antik, perlahan membawa Ziya pergi menjauh. Dalam mobil, Sang Ayah hanya terdiam tanpa sepatah kata pun. Maka untuk menghilangkan kekakuan, Ziya memutar lagu-lagu nasyid kesukaannya.
Setiap lagu yang diputar, seolah menyibak masa yang telah lalu. Masa dimana dia berjuang bersama anak-anak As Salam untuk tetap istiqomah dalam dakwah. Masa dimana ia tertawa lepas dengan kawan-kawan Az Zahra, masa dimana dia begitu bersemangat mendaki Galunggung dengan pakaian syar’i nya, dan masa dimana hidupnya damai dalam kesyukuran.
Alunan musik dan kenangan, sesekali membuat bibirnya tersenyum, membuat hatinya rindu, lalu membuat hiasan di pelupuk mata makin menajam.
“Allahu akbar...!” Suara dengan nada amat tinggi keluar dari mulut Sang Ayah.
“Ada apa yah?” Ziya langsung terbangun, jantungnya berdegup kencang lantaran kaget.
“Coba lihat Zi !” Berusaha menunjukan kekagumannya.
“MasyaAllah... Allahu Akbar!” Kini Ziya pun merasa terpana atas apa yang tampak didepan matanya.
Sepanjang jalan penuh dengan lautan manusia dengan payung khas kota santri tempo dulu. Riuh bergemuruh diiringi lantunan dzikir mengangungkan asma-Nya. Mobil tua itupun harus menunggu rombongan itu berlalu. Tapi, rupanya bukan berkurang namun malah makin bertambah.
Sebenarnya Ziya dan juga ayahnya tidak keberatan walau harus menunggu lama. Karena, melihat rombongan para santri dihari kemerdekaan ini terasa lebih bermakna ketimbang melihat gelak tawa para hamba yang lupa akan nikmat dari Tuhan-Nya. Setidaknya keseragaman dan ketaatan mereka menjadi cambuk untuk senantiasa bermuhasabah diri.
“Tok...tok...tok...,” Seseorang mengetuk kaca mobil. Ziya kemudian membuka kaca mobil dengan perlahan.
“Assalamu’alaikum.” Ucap seorang santri yang mengenakan peci putih.
“Wa’alaikum salam.”
“Maaf, kalau boleh saya tahu bapak dan teteh ini mau kemana?” Tanya santri laki-laki itu.
“Kami mau ke Singgahan kang, tapi jalanan sepertinya macet. Jadi kami menunggu sebentar di sini.” Jawab ayah Ziya.
“Aduh... maaf pak, sekiranya pawai para santri menghambat perjalanan. Begini saja, kalau bapak nggak keberatan bapak bisa ambil jalan lain. Di depan ada pertigaan, pilih jalan ke kanan nanti tinggal lurus terus dan tidak jauh dari itu ada jalan besar, bapak pilih saja jalur Cihaur.”
“Oh... ya, kang terima kasih. Tapi, sepertinya saya butuh bantuan sedikit, akang bisa mengintruksikan santri yang di depan untuk memberi jalan? supaya saya bisa lewat.”
“Boleh pak, dengan senang hati.” Ucap santri berwajah teduh itu.
Tak lama setelahnya, santri tadi mengintruksikan agar memberi jalan untuk Ziya dan ayahnya. Mobil tua itupun akhirnya dapat bergerak meski perlahan. Alhamdulillah akhirnya buah dari kesabaran itupun dapat dinikmati. Ziya dapat melanjutkan perjalanan meskipun dengan arah yang berbeda.
Keringat mulai membasahi hampir seluruh tubuh Ziya, tangannya sudah terasa begitu dingin dan wajahnya pun mulai terlihat pucat pasi. Perlahan dia memejamkan mata, berusaha memaksakan diri untuk tidur agar rasa yang tak menentu dalam tubuhnya dapat hilang. Tapi ternyata tidak, semakin dipaksa keringat dan suhu dingin tubuhnya makin meningkat.
“Keluarkan saja Zi, biar plong.” Saran sang ayah
“Ziya juga pengennya dikeluari aja yah, tapi nggak bisa. Rasanya malah makin aneh.” Ucap Ziya dengan suara seperti orang yang mengigau.
Tiba-tiba dia teringat pada Didin, kakak sepupunya.Yang selalu melakukan hal konyol ketika mual, lalu Ziya pun meniru hal ekstrim tersebut, dia mulai merogoh tenggorokan dengan jari telunjuk sampai semua isi perutnya keluar. Ziya pun merasa lega setelah isi dalam perutnya seakan tak bersisa, meski masih menimbulkan rasa pening.
Ziya memang tidak terbiasa naik kendaraan dalam waktu yang lama, apalagi jika kendaraan itu adalah mobil. Hal itu karena dia tidak terbiasa. Maklum saja, karena dia terlahir prematur dan pernah keracunan pas dalam kandungan, Ziya jadi mudah sakit. Dia tak boleh makan sembarangan dan juga kecapean. Tubuhnya sangat lemah. Karena hal itulah, ayah dan ibunya sangat over protektif.
Namun, semua itu sudah berlalu. Kekebalan tubuhnya mulai membaik ketika dia menginjak bangku kelas tiga SMA. Dan kini dia bisa melakukan apapun sesukanya. Orang tuanya juga tidak perlu khawatir lagi. Bahkan Ziya diizinkan mengikuti segala bentuk kegiatan dan diizinkan pula untuk kuliah di luar kota. Ziya akhirnya tertidur. Sembari menyetir, Sang Ayah melirik putri kecilnya itu.
“Putri kecilku sekarang sudah dewasa. Dia akan tinggal sendirian di sana. Ya Rabb tolong lindungi dia, jaga dia agar selalu bersama orang-orang yang mencintai-Mu. Aku memohon pada Mu Ya Allah, jaga putriku dan jaga keimanannya agar senantiasa mengingat Mu.” Do’a ayah Ziya dalam hati.
Setengah jam berlalu, Ziya akhirnya bangun. Kini kabut tipis lembut seperti kapas menjadi salah satu pemandangan luar biasa yang pernah dia lihat. Warna putih yang menggumpal menyamarkan mata yang sejak awal memang sudah buram menjadi semakin buram. Hanya nampak jalan aspal membelah pegunungan, meliuk-liuk membuat kepala dan perut si gadis manja itu kembali berputar-putar.
Jalan panjang tak berujung. Pohon-pohon besar menjadi satu-satunya warna penyejuk mata. Pucuk daun cemara berselimut kabut sesekali telihat lantaran tersibak angin.
Siang itu, matahari sama sekali tak menampakkan cahayanya diperbatasan kota Manis - Singgahan. Semuanya hanya akan terlihat jelas ketika ada sentuhan angin yang menggiring kabut putih itu untuk bergeser sesaat. Sayangnya, perjalanan panjang itu malah terasa semakin parah, manakala gerimis turun perlahan dan membawa hawa dingin yang semakin menusuk tulang. Beruntung di mobil ada jaket, setidaknya itu bisa menjadi penghangat tubuh.
“Ya Allah... perjalanan ini begitu panjang dan melelahkan, udara pun terasa begitu dingin, belum lagi kejadian-kejadian luar biasa yang nggak pernah terpikirkan olehku, akan menjadi pemanis perjalanan ini. Ya Allah, ternyata dinamika perjalanan untuk sampai ditujuan begitu rumit. Apakah mungkin seperti ini pula gambaran hidupku di masa depan?” Gumam Ziya dalam hati.
“Jangan ngelamun Zi, dari pada ngelamun nih! mending makan dulu biar perutnya nggak kosong.” Ucap ayahnya membangunkan Ziya dari lamunan.
Ziya pun mengambil makanan ringan yang sudah disiapkan dari rumah. Dia menawari ayahnya, tapi beliau tidak mau. Katanya kalau perut penuh malahan ngantuk nantinya.
“Zi, lagi mikirin apa sih!” Ayahnya tiba-tiba menanyakan hal itu, seolah-olah beliau tahu isi hati dan pikiran Ziya.
“Nggak ada yah. Ziya cuman bingung gimana caranya biar pusing ini ilang.”
“Udah, nanti juga baikan” Ucap ayah sembari mengelus kepala Ziya
Ziya pun hanya menunduk, sembari memakan cemilan ditangannya. Terlihat dia tidak begitu menikmati makanan itu. Ada rasa dimana dia belum bisa mengambil pelajaran dari setiap hal yang telah dilalui. Hatinya merasa, bahwa kedekatannya dengan Sang Pencipta begitu kurang. Sehingga sulit memahami apa yang tengah disampaikan oleh-Nya.
Perjalanan yang cukup melelahkan akhirnya berakhir juga. Ziya dan ayahnya telah sampai di kosan khusus putri. Kosan itu berdekatan dengan kampus dimana nanti Ziya akan menimba ilmu. Pemiliknya bernama Pak H. Uus. Orangnya sangat ramah dan juga hanif. Ziya dan ayahnya pun tiba, Pak Uus langsung menyambut dengan hangat. Mengantarkan keduanya ke kamar B di lantai dua, tepatnya yang akan menjadi tempat tinggal Ziya. Lalu beliaupun turun dan kembali lagi dengan membawa banyak makanan.
“Ayo, dimakan dulu. Perjalanan dari kota Santri ke sini kan cukup jauh,” Ucap Pak Uus sambil menyuguhkan makanan.
“Oh ya, pak. Terima kasih.” Kata ayah Ziya.
“Baiklah kalau gitu saya pamit dulu. Silahkan dilanjut beres - beresnya.” Pak Uus pun pergi.
Ziya dan Ayahnya langsung membereskan ruangan itu tanpa mencicipi makanan yang telah disediakan. Tak perlu waktu lama, karena memang barang yang Ziya bawa tidaklah seberapa.
Waktu tak terasa semakin sore, Sang Ayah pun memutuskan untuk segera pulang.
“Zi, ayah pulang ya, jaga diri baik-baik, jangan pernah tinggalkan shalat, dan kalau ada apa-apa segera hubungi ayah.” Nasehat ayahnya.
“Ya, yah. InsyaAllah Ziya akan menjalankan nasehat ayah.”
Sebelum pulang, ayah Ziya menemui Pak Uus dan menitipkan Ziya padanya. Gerbang kosan menjadi saksi untuk pertama kalinya gadis manja yang ceria harus berpisah dengan ayah tercintanya. Banyak hal yang sebenarnya ingin mereka ucapkan. Namun sungguh, lidahnya menjadi kelu tatkala rasa malu telah lebih dulu menyelimuti hati mereka dibandingkan kata cinta
Mentari,
Pagiku selalu indah karena sinarmu
Yang bukan hanya sekedar hangat terasa
Tapi melukiskan cinta,
Cinta pada ku dan semesta
Mentari,
Pagiku selalu indah karenamu
Kau sanggup menggati gelap dengan terangmu
Wahai mentari
Terima kasih
Karena pagi ini kau sudi bersembunyi
Membiarkan dingin menyelimuti
Hingga dapat ku rasa
Hangat kasihnya