Bagian 2 Novel Puzzle

Kecewa


Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan
Bersandarlah kepada-Nya

Silahkan Baca Dulu:
Bagian 1 Novel Puzzle


            Hari ini adalah hari pertama bagi Ziya menjalani kehidupan tanpa orang-orang terkasih didekatnya. Subuh pertama dia jalani seorang diri, sepertinya hanya dia yang bangun. Suara keran atau bahkan derit pintu tetangga pun tak juga ia dengar. Mencoba untuk berprasangka baik, Ziya berfikir mungkin mereka sedang berhalangan. Usai shalat, seperti biasa berdzikir dan tilawah menjadi hal wajib yang harus dilakukan.
            Matahari di Singgahan rupanya menyambut Ziya dengan gembira. Dia memancarkan sinarnya dengan begitu terang, menghangatkan jiwa dan mengajarkan setiap manusia untuk selalu mengucap syukur, karena ternyata sekali lagi Allah masih memberikan kesempatan kepadanya untuk mengumpulkan pahala serta bekal pulang.
            Telah lebih dari satu tombak sinarnya memancar, maka Ziya harus segera bersiap-siap ke kampus untuk menyelesaikan administrasi.
            “Bismillaahi tawakkaltu 'alalloohi laa hawlaa walaa quwwata illaa billaah (Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya upaya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah )” Ziya membaca do’a sebelum pergi.
            Tak perlu waktu lama, karena memang jarak kosan dan kampus itu hanya beberapa langkah saja. Saat memasuki gerbang kampus, kembali ia menatap visi misi kampus yang mengedepankan nilai-nilai Islami. Bibirnya tersenyum bahagia, walaupun di kampus swasta dan belum terkenal, asalkan mengedepankan nilai Islami, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia.
            Suasana di kampus masih terasa  sepi, hanya ada satu dua orang saja yang berlalu lalang itupun sepertinya memiliki tujuan yang sama dengan Ziya. Wajar saja, ini masih bulan-bulan libur semester. Mungkin nanti setelah OSPEK suasana kampus baru akan terasa.
            Ziya melangkah menuju gedung rektorat, seorang bapak dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih tersenyum pada Ziya.
            “Mau bayar administrasi mbak?” tanya bapak itu.
            “Ya, pak. Nama saya Naziya Khairatunnisa, saya mahasiswi baru jurusan PGSD.” Jawab Ziya lengkap.
            “Total biayanya 8 juta mbak, ini rinciannya. Dan untuk pembayaran bisa lewat BJ* atau BN*.”
            “Kalau bayar di sini bisa pak? Biar saya tidak usah bolak-balik.”
            “Bisa, silahkan formulirnya diisi dulu.”
            Ziya pun mengisi apa-apa yang harus diisi. Kemudian bapak itu pun memberikan bukupetunjuk pelaksanaan OSPEK. Setelah segala bentuk admiministrasi sudah dibereskan, dia pun berkeliling di sekitar kampus. Untuk ukuran kampus yang baru berdiri, cukup lumayan. Hanya saja ternyata belum ada Masjid di situ. Tapi, sebagai penggantinya ada Mushola kecil di tiap lantai.
            Naik ke lantai tiga gedung A, di situ barulah terlihat banyak orang. Ada yang fokus membaca buku dan ada juga yang sibuk dengan handphonenya. Mata Ziya memperhatikan satu persatu orang-orang itu, ternyata tak satupun dari mereka yang berpakaian sebagaimana mestinya seorang muslim. Kerudung yang dikenakan wanita-wanita itu biasa saja, bahkan cenderung tidak sesuai syariat. Begitu pula dengan para laki-laki itu, mereka justru terang-terangan merokok sembarangan. Ziya kembali berprasangka baik.
            “Ah, mereka kan masih calon mahasiswa baru. Mereka juga baru mau ikut tes. Belum tentu mereka lolos semua. Dan kalaupun lolos, aku yakin mereka yang hari ini seperti itu akan berubah karena di kampus ini sangat mengedepankan nilai-nilai Islami.” Gumam Ziya dengan rasa prihatin melihat calon mahasiswa baru yang akan mengikuti tes.
            Ziya pun berlalu dari hadapan mereka dengan terus menundukan pandangan. Sebagian ada yang menatapnya dengan heran. Dan sebagian ada yang berbisik-bisik, entah apa yang dibicarakannya.
            Ditengah langkahnya, Ziya teringat bahwa dia belum Shalat Duha. Maka, dengan wudhu yang masih terjaga dia segera menuju Mushola kecil dilantai dua.
            “Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih karena Engkau telah mempermudah jalanku untuk sampai di kampus ini. Terima kasih karena aku tak perlu mengikuti jalur tes untuk bisa lolos. Ya Allah, tolong dampingi aku kemanapun aku pergi. Jauhkan aku dari hal-hal yang tidak Engkau ridhoi. Aamiin.”
            Belum sampai Ziya membuka mukena, tiba-tiba...
            “Kamu shalat apaan jam segini?!” Tanya seorang lelaki berkulit hitam dengan rambut sebahu.
            “Astagfirullah...,” Ziya kaget. “Shalat duha.” Lanjutnya dan segera membereskan mukena.
            Tanpa rasa malu, lelaki itu tetap berdiri dipintu Mushola dan memperhatikan Ziya yang tengah membereskan mukena. Sontak karena perbuatan lelaki itu, Ziya merasa tidak nyaman dan buru-buru untuk pergi dari tempat itu.
            “Maaf, saya mau lewat.” Ucap Ziya sembari keluar dari Mushola.
            Lelaki itu masih saja menatap Ziya dengan tatapan yang menakutkan. Ketika langkah Ziya sudah hampir jauh, lalu lelaki itu berlari kecil.
            “Hei, tunggu! Aku mau ngomong.” Sembari mengejar
            “Ada apa!?” Tanya Ziya ketus
            “Nama ku...,” kata lelaki itu seraya mengulurkan tangannya.
            Namun belum sempat lelaki itu mengucapkan siapa namanya, dia sudah kaget duluan karena Ziya segera menyatukan kedua tangannya seperti hendak bersalaman sebagaimana yang telah diatur dalam Islam ketika bersalaman antara ikhwan dan akhwat.
            “Kamu kenapa! Perasaan tangan aku bersih?” Tanya lelaki itu penuh keheranan.
            “Maaf, tapi kita bukan mahram.” Karena takut, Ziya langsung pergi meninggalkan lelaki itu dengan setengah berlari.
            Lelaki itu masih heran dengan sikap Ziya. Dia terus melihat jari-jari tangannya, barangkali ada kotoran menempel.
            “Wanita yang aneh. Perasaan ni tangan bersih higienis deh! Terus tadi ngomong apaan coba, mahram? Apaan tuh! Ah... yang jelas itu makhluk unik banget.” Gumam lelaki berambut gondrong itu.
            Karena ketakutan, Ziya memutuskan untuk tidak melanjutkan melihat-lihat sekitaran kampus. Dia lebih memilih untuk segera pulang.
***
            Tengah hari di Singgahan kian membara. Panasnya menambah sesak ruangan, terlebih lagi jendela kamar yang tak bisa memberikan cukup ruang untuk udara segar masuk. Memang, akan sangat nikmat kalau bisa merebahkan tubuh sambil menikmati udara dingin dari kipas angin. Namun sayang, Ziya memilih untuk berusaha keluar dari berbagai kenyamanan yang biasa diberikan orang tuanya.
            “Ah, kayanya aku ke tempat jemuran aja. Menikmati angin di tempat itu pasti menyenangkan.” Ucap Ziya dalam hati.
            Ziya pun keluar dari kamarnya, kemudian berjalan ke arah ruang TV dan membuka pintu menuju jemuran khusus penghuni lantai dua. Beberapa pakaian menggantung, menghiasi setiap tali yang menjulur panjang. Beruntung di tempat itu, Pak Uus menyediakan kursi goyang berukuran kecil terbuat dari karet.
            Ziya duduk menikmati angin panas ditengah hari. Matanya terpejam lenyap dalam imajinasi. Sesekali angin datang menghempaskah udara segar tepat ke wajahnya, lalu membawa dirinya terlelap dalam sekejap. Membawanya hanyut dalam rasa yang gamang.
Namun selang beberapa menit dia terpejam, terdengar gelak tawa beberapa anak gadis, sehingga membangunkannya. Rupanya penghuni kosan baru hamper semua menempati lantai dua, itu artinya yang menghuni bagian bawah adalah para senior. Ada niatan dalam hatinya untuk segera bangun dan berkenalan dengan mereka. Namun, dia belum memiliki cukup keberanian untuk memulai. Maka melanjutkan meranjut mimpi ditengah hari menjadi sebuah pilihan yang diambilnya.
            Matanya memang terpejam, tapi sebenarnya telinganya masih mendengar jelas suara bahagia para calon mahasiswa. Panggilan adzan Dzuhur dari setiap sudut kota Kuda mulai menggerakan setiap hati yang teguh memegang keimanannya. Hati yang dimiliki oleh mereka yang senantiasa terus menggantungkan pengharapan hanya kepada-Nya. Sedangkan sebagian hati yang tak memiliki rasa cinta terhadap Sang Pencipta masih setia dengan aktivitas dunianya bahkan mereka sambut panggilan cinta-Nya dengan gelak tawa bukan dengan do’a.
            Ziya mulai merasakan kehidupannya tidak akan baik-baik saja di kota itu. Dia sudah melihat bagaimana mereka mengekspresikan cinta pada Sang Kuasa. Dzuhur itu menjadi awal tumpahnya air mata Ziya. Bagaimana tidak? Impiannya tentang suasana kosan yang Islami musnah sudah. Dadanya terasa sesak karena bukan barisan akhwat sholehah yang kini akan mewarnai kesehariannya, melainkan barisan wanita yang senang mengumbar aurat dan lupa akan akhirat.
            Dalam kondisi yang tidak nyaman seperti itu, Ziya mulai merasa tertekan. Dia menyadari imannya tak seteguh para akhwat yang ada di Palestina. Seperti dikatakan dalam sebuah hadist, Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan.

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628).

            Dari hadits tersebut Ziya belajar bahwa ketika berteman ataupun bersahabat dengan orang baik, kemungkinan kita akan menjadi baik atau minimalnya kita mendapati kebaikan dari orang itu. Ziya benar-benar ketakutan, dia takut perlahan lingkungan yang kejam mampu menggoyahkan keistiqomahan yang telah ia bangun dengan susah payah. Dalam sujud terakhir ia perbanyak doa, memohon perlindungan dan keteguhan hati.
            Senja menghampiri kemudian dalam hitungan masa kembali meninggalkannya, berganti dengan malam yang mencekam membuat hati meringis menahan kepedihan yang disebabkan sahutan-sahutan jalang serta balasan panggilan cinta Sang Pencipta oleh gelak tawa tanpa rasa berdosa.
Sepertiga malam mengelus lembut mata yang hampir semalaman mengekspresikan kepedihan hatinya. Karena-Nya mata itu pun terbuka. Tangannya bergerak melepaskan dua ikatan syetan yang membelenggu, perlahan dia buka satu persatu dengan do’a. Kemudian kakinya berusah untuk melangkah agar Ziya bisa membuka belenggu syetan yang ketiga yaitu dengan air wudhu.
            Cahaya cinta seorang hamba kembali memancar hingga kumandang adzan Subuh terdengar. Tapi, untuk kedua kalinya bahkan mungkin jika Allah tak berikan hidayah bagi mereka, hal itu akan berlangsung selamanya. Subuh akan terasa sepi, lantaran jiwa-jiwa muda masih terhempas dalam indahnya mimpi dan  sudah tak peduli akan panggilan Ilahi.
            Setelah melewati hari yang mengerikan dan bisa jadi hal itu akan terjadi kembali serta berlangsung selamanya, disatu Subuh Ziya kembali mendapatkan semangatnya untuk tetap bertahan dan menahan.
            Dalam suasana yang seperti itulah Ziya berusaha menguatkan kembali hatinya, menumbuhkan keyakinan bahwa di kampus, dia akan menemukan akhwat yang sefrekuensi dengannya.
***

            Malam-malam yang kelam harus terus dia rasakan hujamannya. Tapi, semua itu tidak akan berarti apapun lagi karena dihari ini dia akan menemukan akhwat-akhwat sholehah di kampus. Pikirnya.
            Ziya begitu bersemangat, sebelum derit pintu tetangga terdengar, Ziya sudah siap. Pakaian hitam putih dan masih dengan kerudung lebarnya tetap ia pertahankan. Dia tak peduli identitasnya dan persyaratan panitia yang harusnya terlihat kini tertutupi kerudung lebar itu. Sekali lagi dia tak memperdulikan itu.
            Benci terhadap sifat orang-orang di kosan adalah hal yang wajar. Tapi, walaupun demikian Ziya tidak pernah membenci orang-orang itu. Maka dengan bibir yang masih setia melantunkan dzikir, Ziya menunggu tetangga-tetangga kamarnya untuk keluar dan pergi ke kampus bersamaan. Lama waktu berselang tak menyurutkan semangatnya sedikitpun. Sampai akhirnya satu-persatu tetangga yang belum dia kenal itu keluar dari kamar dan mengajaknya untuk berangkat bersama.
            “Ayo berangkat.” Ajak salah seorang teman kosannya yang agak tomboy tanpa perkenalan dulu.
            Ziya hanya mengangguk sembari tersenyum bahagia. Tapi ternyata dari sekian banyak orang di kosan itu, hanya gadis tomboy itu saja yang menyapanya. Selebihnya mereka justru menatap dengan tatapan heran, menggunjingnya dengan sayup-sayup tak mengenakan. Dari situlah Ziya mulai memisahkan diri, memutuskan untuk berangkat seorang diri.
            “Jangan biarkan sesuatu yang tidak kita inginkan masuk ke dalam fikiran kita.” Gumam Ziya tanpa henti, berusaha untuk tetap berfikir positif dan menguatkan dirinya.
            Langkah yang semakin cepat dan diiringi kata-kata motivasi yang terus ditujukan pada dirinya sendiri berhenti bersamaan saat tatapannya tertuju pada satu titik. Titik kerumunan mahasiswa baru dan para senior yang begitu mengagumkan.
            Mengagumkan karena ternyata, tak dia temukan satu orang akhwatpun yang menjuntaikan kerudungnya dan tak dia temui satu orang ikhwanpun yang menundukan pandangan serta menjaga diri dari berhalwat. Dia heran mengapa di kampus dengan lebel Islami yang begitu diagungkan ternyata seperti ini.
            Semuanya kini malah terbalik, karena ternyata mereka merasa heran dengan kehadiran sosok akhwat berjilbab lebar, berpenampilan serba tertutup tanpa lekukan sedikitpun, tanpa hiasan penipu penglihatan, dan tak mau berjabat tangan dengan ikhwan. Mereka bertanya-tanya, mengejek dalam sayup-sayup suara, dan menggunjing dalam kerumunan masa, lantaran penampilannya yang terkesan ketinggalan zaman.
            Dengan nafas yang begitu sesak, Ziya berusaha melewati hari dengan keceriaan. Berusaha berbaur meski tak semua orang bisa menerimanya. Adzan kembali berkumandang, seluruh aktivitas dihentikan. Panitia menginstruksikan untuk melaksanakan shalat terlebih dahulu. Tapi ternyata instruksi itu hanya peraturan tanpa aplikasi. Di waktu yang seharusnya digunakan untuk shalat, para panita justru malah sibuk mengerjakan ini dan itu, sesuatu yang tidak jelas dan hanya sebagian kecil saja dari para panitia yang sadar akan kondratnya sebagai seorang hamba. Sementara para pesertanya pun tak jauh berbeda, hanya satu dua saja yang tergerak untuk menunaikan perintah Allah.
Shaf akhwat begitu longgar dan saat mata Ziya berusaha menelusup hijab, dia pun hanya melihat satu barisan ikhwan saja. Hatinya kembali meringis, tat kala takbiratul ihram dilakukan, itu semua menjadi awal dimana dia sudah tak sanggup lagi membendung air mata. Dia terus menahan agar air matanya tak sampai jatuh, namun ternyata dalam sujud terakhir semua rasa haru dan sesak itu tumpah dalam doa berselimut air mata. Beban fikiran dan ketidaksiapan atas ujian yang telah ada di depan mata, membuat Ziya tak mampu mengungkapkan sepatah kata pun dalam do’a. Air matanya mengalir, hatinya terus beristigfar dan fikirannya terus menyibak masa yang tidak pernah diinginkannya.
            “Maaf, ini kayanya udah waktunya kegiatan lagi deh.” Ucap seorang gadis dengan suara serak-serak basah.
            “Asatagfirullah... makasih sudah diingatkan.” Ucap Ziya.
            “Aku tungguin ya, biar nanti kita barengan.”
            Ziya pun bergegas membereskan mukenanya dan berusaha menyembunyikan kesedihannya.
            “Kenalkan, nama ku Indah.” Ucap gadis dengan suara serak-serak basah itu sembari menyodorkan tangan.
            “Aku Ziya.” Jawabnya singkat disertai senyuman.
            “Kamu tadi kenapa? Kok nangis? Aku sebenarnya nungguin kamu dari tadi. Tapi karena keliatannya lagi khusyuk jadi aku tungguin deh!”
            “Nggak apa-apa kok! Ndah.” Jawab Ziya singkat.
            Shalat dzuhur adalah titik dimana Allah pertemukan Indah dengan Ziya. Keduanya ternyata disatukan dalam satu kelompok untuk kegiatan perkemahan dalam acara puncak rangkaian OSPEK dan keberadaan Indah cukup mengobati rasa gundah dalam hati Ziya.
            Waktu berlalu dengan begitu cepat, menyisakan rasa yang tak mampu dijabarkan meski dengan tinta. Tak mampu diungkapkan meski dalam do’a. Hanya mampu dirasakan kepedihannya.
            Gadis bernama Indah pun melambaikan tangannya, memberikan senyuman tulus untuk teman yang baru dikenalnya beberapa saat.
            “Zi, aku pulang duluan ya, jangan lupa nanti malam telpon aku kalau kesepian hehehe.” Ucap Indah pada Ziya.
            “Ya, InsyaAllah Ndah.” Ziya pun tersenyum geli, malu karena Indah ternyata mampu menebak bahwa dirinya begitu kesepian.
            Bak oase dipanasnya gurun, begitulah kehadiran seorang Indah. Hati yang sempat menjerit pada langit tanpa suara itu, kini lirih mengucap syukur. Bagaimana tidak? Dari sekian banyak kenyataan pahit yang harus ditelan oleh Ziya, Allah masih sisipkan penyejuk mata lewat gadihkonyol bernama Indah.
            Lama waktu berselang, Ziya mulai belajar memahami situasi yang mungkin bisa kapan saja mengikis keimanan di hatinya. Meneguhkan hati dalam kesendirian dan sepertiga malam menjadi sebuah rutinitas yang tak bisa dilepaskan dan berusaha untuk tidak dilepaskan oleh Ziya.
            Ketegaran dalam hatinya mulai terbangun, semuanya tergambar jelas tat kala malam terakhir di bumi perkemahan yang penuh dengan kemaksiatan dia mampu melewati semua itu. Kesal yang membuncah dalam hatinya membuat Ziya memilih untuk tidak memejamkan mata. Dia lebih memilih menyandarkan tubuhnya disalah satu tiang yang menyangga bangunan sederhana tempat para peserta dan panitia ospek berteduh dari dinginnya air hujan di malam hari.
            Matanya menatap utuh setiap sudut tempat itu. Terlihat bagaimana jiwa yang berbalut pakaian tebal itu tidak merasa risih sedikitpun ketika mereka tidur hampir berdekatan dengan ikhwan. Panitia pun seolah menutup mata dengan kondisi itu, dengan dalih untuk berjaga-jaga takut terjadi sesuatu, mereka lantas mengabaikan aturan agama.
            Menghela nafas dalam-dalam, memendam seluruh amarah dalam diamnya. Ziya hanya tertunduk ditengah-tengan mereka yang terlelap dengan nyamannya.
            “Hal ini salah Ya Allah, tapi mengapa lidahku begitu kelu untuk memberontak ketidak benaran ini? Mengapa aku tak bisa melakukan apapun Ya Rabb?” Hati itu terus terpaut pada-Nya, memohon ampun atas ketidak berdayaannya.
            Malam terakhir di bumi perkemahan adalah malam yang mengerikan bagi Ziya. Matanya tak bisa terpejam walau hanya sedetik pun. Bagaimana bisa terpejam? Jika disekelilingnya penuh dengan dosa yang disamarkan. Gemericik air hujan semakin malam bukan semakin mereda, tapi makin menjadi. Udara dingin menusuk, menambah pedih dihatinya. Pedih yang teramat, membuat fikirannya melayang pada masa-masa indah dan mudah.

Note Putri SM
Hujan membawaku pada rindu
Gemericiknya seolah mengajak pada masa lalu


Kutembus hujan demi rinduku
Basah tak masalah bagiku
Terpenting adalah rindu


Rindu berselimut harap dan angan
Pada semu dan abu-abu
Semakin rindu semakin semu
Semakin rindu semakin abu-abu


Menunggu hujan tak jua reda
                                                            Pun jua rindu yang tak jua berlalu